So, here’s the case. Tentang orang-orang hebat di indonesia
kenapa ke luar negeri? Biasany mereka menjawab karena kurang dihargai di negeri
sendiri. Well, is that really all of the excuses. Well I think i found
something. Pemikiran ini ditemukan saat sedang melamun (yeah, i do that a lot,
like... A LOT). Tentang orang-orang hebat di Indonesia yang sekarang ada di
luar negeri. Mereka-mereka yang dikatakan kurang dihargai dan sebagainya. Pemikiran
ini sendiri, ehem, menurut saya, agak sedikit kurang tepat. Kenapa, well, here
is my reasoning:
Coba langsung kita lihat aja kasusnya: Pak Habibie yang
sekarang went overseas. Yak kita semua tahu beliau sekarang ada di luar negeri,
bahwa beliau pernah bikin pesawat terbang dan lainnya. Beliau sangat cerdas dan
sebagainya (dikatakan tanpa bermaksud mendiskreditkan, hanya saja terlalu banyak
pujian untuk beliau, mari kita singkat, sebab bukan itu konteks pembicaraan
kita, olrait?) Selain itu seperti Ibu Sri Mulyani yang sekarang juga lagi kerja
di luar negeri. Nah, selain itu juga banyak ilmuan kita yang kerja di
perusahan-perusahaan luar negeri. Point? Mereka semua cerdas, kompeten, luar
biasa.
Dan Indonesia tidak mengerti bagaimana cara memberdayakan
mereka.
See. Kenapa saya bilang begitu? Mari kita lihat gambaran
umum saja.
Ambillah seorang ilmuan fisika, ia sangat cerdas, dengan
banyak ide di kepalanya, dengan banyak percobaan ilmiah menunggu di wujudkan
melalui tangannya. Untuk itu, mereka perlu pendanaan. Ketika kita bicara
masalah pendanaan untuk hal yang sifatnya eksperimental, tidka hanya di Indonesia,
di dunia ini pun untuk biasa mendapatkan pembiayaan itu, para ilmuan harus
berjuang untuk mencari sponsor yang au mendanai proyek mereka itu. Sudah pernah
baca, ilmuan fisika kuantum di amerika sampai hari ini masih tidak bisa melakukan eksperimennya hanya
karena terhalang dana 20.000 dolar? Jika dibandingkan dengan proyek fantastis
lain di dunia ilmu pengetahuan, 20.000 dolar itu sangat sedikit, tapi karena ‘idenya
dianggap terlalu mustahil’, there he is, eksperimen terhenti.
Di Indonesia,
sampai saat ini, pemerintah perhatiannya sangat kecil sekali untuk hal-hal yang
bersifat pengembangan, discovery,
Mereka lebih mengutamakan peningkatan kesejahteraan yang sifatnya hanya ‘sekarang’
daripada pengembangan teknologi berorientasi ke masa depan yang lambat jalannya
(dan seringnya dianggap tak membuahkan hasil, padahal eksperimen adalah memang
hasil dari try and error). Habislah nasib ilmuan jika mengharap rengkuhan
hangat dari pemerintah.
Kemudian
perusahaan lokal, sejauh ini, wiraswastawan saja hanya sejumlah 3% (CCMIW, I forgot
the exact number. I guess that’s what my lecturer said, I was asleep/daydreaming
at class by the way) dari JUMLAH SELURUH ORANG INDONESIA. Nah, sebagian dari
mereka itu berapa banyak sih yang bisnisnya ke arah teknologi? Nggak pernah
kedengeran ada perusahaan lokal bikin perusahaan henpon, perusahaan
mobil. Sejauh ini paling banter sifatnya ada software. Untuk hardware>>none.
APALAGI FISIKA KUANTUM! Baik.
Mari kita tutup kemungkinan ilmuan kita kerjasama dengan perusahaan
lokal.
Nah, kemana lagi mau nyari sponsor? Terpaksalah kabur ke negara
lain, dengan fasilitas memadai, dengan banyak peluang pembiayaan (dengan
syarat-syarat tertentu yang mengikat tentu saja). Dan itulah, para ilmuan ini
pindah keluar, mengejar mimpinya, untuk melakukan sesuatu yang lebih bagi
dunia.
Kasus lain, udah berapa kali sih, National Geographic tuh ke
Indonesia urusan wildlife dsb. MEREKA NYARI LOH KESINI!!! Dan kita
membengkalaikan semua spesies2 itu begitu saja tanpa ada bantuan untuk
mengembangkan ke arah yang lebih advanced supaya kita bisa lebih merajai apa
yang kita miliki (kembali ke pengaturan anggaran APBN yang lebih mementingkan
urusan perut). Selain itu, tentang global warming. Sampai hari ini, urusan tata
kota itu nggak beres. Bangun aja ruko di mana-mana, sedangkan di luar negeri
mereka memanfaat setiap arsiteknya untuk mulai membuat rumah ramah lingkungan. Misalnya
gimana supaya pencahayaannya maksimal, angin bisa masuk. Nggak cuma kotak2 tok,
isi lampu banyak2 sama AC kenceng2. Udah deh. Jantung dunia ini kerjaannya
makin ke sini makin bolongin ozon aja. Arsitek? Itung aja deh anak SMA yang mau
jadi arsitek lalu dimarahin sama orang tuanya karena ngga dianggap pekerjaan
yang menjanjikan. Nah kan nggak kepake lagi orang pintar cerdas dan kreatifnya
=) (kayaknya makin ke sini makin ngomel, baiklah mari kita sudahi).
Itu baru contoh untuk ilmuan, bidang eksakta, belum lagi
sosial. Nggak berani biacara di bidang ini, soalnya saya emang lebih ngerti kausalitas
permasalahan ilmuan sih.
Ketika kita bicara orang-orang cerdas, mereka pemikirannya
sudah beyond. Kalau kita tidak bisa mengakomodasi, mereka akan berterbangan
seperti elektron bebas, dengan idealismenya mencari apa yang bisa dilakukannya.
Dan sejauh ini, memang negara kita selalu kebingungan ketika memiliki orang-orang
lebih seperti ini, pertanyaannya selalu=mau ditaroh dimana?? Semakin abstrak
keuntungan yang diperoleh, semakin tidak menguntungkan untuk pribadi, semakin
terbengkalailah urusan mengikat elektron-elektron berenergi ini.
Goodbye Beautiful Mind People...... :'(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar